Informasi, Berita & Opini

Selasa, 27 April 2021

[Opini] Hari Otonomi Daerah ke 25 dan Otonomi 'Setengah Hati'

“Secara filosofis kebijakan pemerintah daerah dimaknai sebagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dengan memindahkan lokus pemerintahan disertai dengan kewenangan khusus dan mengatur urusan urusan tertentu secara mandiri,” kata Wapres RI, KH. Ma'ruf Amin, pada peringatan Hari Otonomi Daerah ke 25 tahun 2021, yang dilaksanakan secara virtual dan diikuti oleh seluruh Kepala Daerah di Indonesia baik Gubernur, Bupati dan Walikota.

Apa yang dikatakan oleh Wapres RI itu sesuai dengan fakta yang terjadi kini, dimana pelaksanaan Otonomi Daerah meski sudah berlangsung namun terdapat beberapa penyelenggaraan pemerintahan oleh Pusat yang tak diserahkan ke pemerintahan di daerah, sebut saja kewenangan di bidang pertambangan.

Kewenangan di bidang pertambangan kini sepenuhnya sudah kembali lagi ke Pemerintahan Pusat setelah sebelumnya diserahkan ke daerah selama sekitar 2 dekade.

Kewenangan mengeluarkan perijinan Kuasa Pertambangan (kini IUP) sebelumnya berada pada Kepala Daerah; Gubernur, Bupati dan Walikota. Bupati diberi kewenangan mengeluarkan ijin tambang di daerah kabupatennya, begitupun Walikota, sedangkan Gubernur wewenangnya memberikan ijin untuk lintas kabupaten/kota.

Sekira 1 dekade kemudian kewenangan Bupati/Walikota dalam pemberian ijin pertambangan dihentikan, diambilalih oleh Gubernur, yang kemudian pun diambilalih kembali oleh Pemerintah Pusat.

Tampaknya pemberian wewenang kepada Kabupaten/Kota dan Propinsi di bidang pertambangan; merupakan semacam ujicoba dan evaluasi.
Ketika Bupati/Walikota diberikan wewenang mengeluarkan Kuasa Pertambangan (KP) kala itu; pemberian ijin seperti tak terkendali.
Sebut saja di Kabupaten Tanah Bumbu di tahun-tahun awal berdirinya kabupaten itu; ratusan KP terbit, dan ratusan lokasi tambang tersebar di seantero kabupaten. Alat-alat tambang beroperasi siang malam, roda perekonomian pun bergerak dan berputar cepat dengan berbagai dampak tak cuma ekonomis, tapi juga demografis, ekologis hingga moralitas.

Aktivitas pertambangan mulai semakin  menurun seiring dengan kemungkinan evaluasi pemerintah terhadap berbagai dampak dari kegiatan pertambangan yang terkait dengan lingkungan hidup, maka kewenangan Bupati/Walikota pun 'dicabut' untuk diserahkan ke Gubernur.

Peran Gubernur yang sebelumnya hanya terbatas di lintas kabupaten/kota; otomatis menangani seluruh propinsi. Namun tampaknya Pemerintah Pusat tak ingin mempertaruhkan kewenangan lebih lama terkait pertambangan ini ke daerah, karena dampaknya yang tak terkendali terutama pada lingkungan hidup pasca tambang, dimana kerusakan alam akibat tambang sudah bukan rahasia lagi.

Namun apakah hanya karena dampak lingkungan saja yang membuat Pemerintah Pusat menarik kembali kewenangan di bidang pertambangan ?
Sepertinya bukan cuma itu satu-satunya, atau memang kebanyakan pendapat umum kalau otonomi daerah yang di-setting sebagai 'setengah hati', kepala dilepas ekor tetap dipegang. 
Kita tunggu saja apakah cuma di bidang pertambangan yang akan diambilalih, jangan-jangan ke depannya kewenangan di bidang lain pun akan ditarik untuk kembali ke sistem sentralisasi. (Red) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Momentar Anda adalah cerminan otak Anda, maka lebih baik diam daripada sok tahu.