Akhirnya para pemodal jua lah atau Kapitalis yang memenangkan pertarungan di daratan Pulau Laut Kotabaru terkait eksploitasi sumber daya mineral yakni batubara yang berada dalam perut bumi Pulau yang terpisah dari daratan Kalimantan itu.
Pemerintah Propinsi Kalsel boleh dikatakan 'keok', kalah oleh perusahaan yang memperoleh perijinan untuk membongkar tanah, mengeruk dan menjual batubara.
Ketika terjadi 'booming' pertambangan batubara di beberapa daerah di wilayah Propinsi Kalsel di awal milenium ke 3, tak terkecuali daerah Kabupaten Kotabaru; daratan Pulau Laut sempat aman dari tangan para Kapitalis tambang, dikarenakan adanya Peraturan Bupati (Perbup) yang kala itu dijabat oleh Syahrani Mataya; yang melarang ada kegiatan tambang di daratan pulau itu.
Sempat aman hampir 1 dekade sebelum kemudian Perbup dicabut menjelang berakhirnya masa jabatan ke 2 Syahrani Mataya sebagai Bupati Kotabaru.
Sangat disayangkan memang pelarangan menambang di daratan Pulau Laut itu cuma dalam bentuk Perbup yang mudah dicabut, tak berbentuk Peraturan Daerah (Perda).
Menurut catatan media ini di tahun 1999 sempat terdapat beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan Desa Selaru dan Sungai Jupi yang waktu itu masih masuk Kecamatan Pulau Laut Utara. Setelah terbitnya Perbup Kotabaru maka praktis tak terdapat lagi kegiatan pertambangan.
Kawasan bebas tambang di daratan Pulau Laut tak ada lagi, atau tak akan ada lagi terkecuali pemerintah mampu bertindak tegas untuk mencabut dan kemudian tak mengeluarkan kembali perijinan tambang.
Secara ekonomi keberadaan tambang memang menguntungkan, tapi lebih banyak sisi lain akan timbul oleh keberadaan tambang seperti; sengketa lahan, kecemburuan terkait kesempatan kerja bagi warga lokal, pengrusakan ekosistem, polusi dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah; sejauh mana keberadaan tambang itu berkontribusi bagi pembangunan daerah dan warganya ? Karena sudah banyak contoh sebelumnya pasca tambang yang hanya meninggalkan kerusakan alam dan warga yang kurang memperoleh kesempatan berkerja di daerahnya sendiri dengan berbagai dalih ketertinggalan SDM; non skill, sehingga kesempatan lebih banyak didapatkan oleh justru warga yang datang dari luar daerah, atau yang didatangkan oleh perusahaan.
Kalau kini warga di daratan Pulau Laut Kotabaru berteriak, maka agaknya sudah terlambat. Dulu saat beberapa Ormas dan LSM menyuarakan penolakan tambang, hanya segelintir warga yang peduli dan bersedia bergabung ikut berteriak, sementara sangat banyak yang cuma sebagai penonton dan tak peduli untuk ikut bersuara.
Selamat tinggal Pulau Laut yang terjajah oleh mesin-mesin pengeruk batubara. Semoga besok pagi warga Pulau Laut masih dapat menjumpai dan melihat awan atau mega yang menyelimuti Pegunungan Sebatung dan Gunung Sembega. (ISP)
---------------------------
*Dasar penulisan opini adalah Pasal 5 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pres; "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Momentar Anda adalah cerminan otak Anda, maka lebih baik diam daripada sok tahu.